Rabu, 31 Juli sebuah peradaban baru dimulai. Tepatnya, sebuah
pelatihan yang mau tidak mau harus mengubah mindset
pesertanya, termasuk saya sendiri. Sebuah seminar diadakan oleh dinas
pendidikan dasar yang kesekian kalinya ketika ramadhan 1434 H. Tajuknya adalah
learning metamorphosis, perubahan dalam proses pembelajaran layaknya sebuah
ulat yang berproses menjadi kupu-kupu nan cantik. Inspirator metamorphosis pun
dihadirkan, HD Irianto. Pemotivasi tingkat nasional yang berdomisili di
Yogyakarta telah menarik minat peserta untuk antusias mendengarkan kisah-kisah
supernya. Semua tergugah, tergelak ketika bercanda, dan terpesona layaknya anak
mendapatkan mainan baru, pengetahuan baru. Selain sebuah sertifikat sebagai
tanda keikutsertaan peserta, buku mungil dengan bahasa ringan tetapi
pengetahuan yang mendalam adalah kunci kesungguhan metamorphosis ini. Hamper
sama seperti tatkala berseminar ria, buku dengan judul “Learning Metamorphosis,
Hebat Gurunya Dahsyat Muridnya” ini menggiring kita tentang fase ulat, fase
kepompong, dan fase kupu-kupu.
Mari kita mulai… .
Tahap awal, bermula dengan fase ulat: ironi profesi guru. Sebuah
ironi, karena sampai saat ini proses pembelajaran masih difokuskan pada ranah
kognitif, padahal menurut pakar bernama Benyamin S. Bloom, setiap anak memiliki
3 ranah berbeda, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam sejarah, dua ranah
terakhir tersebut justru amat menentukan kesuksesan seseorang. Untuk itu,
proses pembelajaran yang hanya menekankan aspek kognitif saja seharusnya mulai
diubah. Anak tidak saja harus cerdas dalam intelektual saja, namun aspek
emosional dan spiritual juga patut utnuk dikembangkan.
Fase kepompong: nilai akademis bukan segalanya. Dalam fase ini mari
melakukan perenungan ulang tentang apa-apa yang kita lakukan sebagai guru.
Ternyata kepintaran akademis saja tidaklah cukup. Menjadi sukses, tidak hanya
ditentukan oleh ijazah yang dimiliki, melainkan diperlukan juga pengetahuan,
keterampilan, dan kematangan. “Nilai ijazah dan transkrip nilai sesungguhnya
hanya berguna saat masih sekolah dan saat pertama kali melamar kerja (itupun
kalau pegawai, kalau pengusaha, nilai itu tak ada artinya”, kata HD. Sebagai
guru, yang digugu dan ditiru seharusnya dapat senantiasa
membentuk ABC-nya murid, yakni attitude,
belief, dan commitment, melalui pembelajaran yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat murid yang memiliki keunikannya masing-masing.
Fase terakhir, dase kupu-kupu: menjadi guru yang lebih manusiawi.
Seorang guru, harus meraih sepenuhnya hak mengajarnya karena murid telah
memberikannya secara sukarela kepadanya. Pertama, bawalah dunia mereka ke dunia
kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka, maksudnya kita harus diterima
oleh murid sebelum pelajara dimulai agar suasana lebih terasa nyaman dan proses
pembelajaran dapat berjalan. Kemudian, saat memulai pembelajaran, kita perlu
mengaitkan apa yang akan disampaikan dengan peristiwa atau perasaan yang pernah
dialami murid (scene setting).
Begitulah, sepenggal teladan
inspiratif dari pak HD Irianto, semoga bermanfaat…. :D