Minggu, 23 Oktober 2022

Learning Metamorphosis (Mengembangkan Sayap Pembelajaran)

 



 

Rabu, 31 Juli  sebuah peradaban baru dimulai. Tepatnya, sebuah pelatihan yang mau tidak mau harus mengubah mindset pesertanya, termasuk saya sendiri. Sebuah seminar diadakan oleh dinas pendidikan dasar yang kesekian kalinya ketika ramadhan 1434 H. Tajuknya adalah learning metamorphosis, perubahan dalam proses pembelajaran layaknya sebuah ulat yang berproses menjadi kupu-kupu nan cantik. Inspirator metamorphosis pun dihadirkan, HD Irianto. Pemotivasi tingkat nasional yang berdomisili di Yogyakarta telah menarik minat peserta untuk antusias mendengarkan kisah-kisah supernya. Semua tergugah, tergelak ketika bercanda, dan terpesona layaknya anak mendapatkan mainan baru, pengetahuan baru. Selain sebuah sertifikat sebagai tanda keikutsertaan peserta, buku mungil dengan bahasa ringan tetapi pengetahuan yang mendalam adalah kunci kesungguhan metamorphosis ini. Hamper sama seperti tatkala berseminar ria, buku dengan judul “Learning Metamorphosis, Hebat Gurunya Dahsyat Muridnya” ini menggiring kita tentang fase ulat, fase kepompong, dan fase kupu-kupu.

Mari kita mulai… .

Tahap awal, bermula dengan fase ulat: ironi profesi guru. Sebuah ironi, karena sampai saat ini proses pembelajaran masih difokuskan pada ranah kognitif, padahal menurut pakar bernama Benyamin S. Bloom, setiap anak memiliki 3 ranah berbeda, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam sejarah, dua ranah terakhir tersebut justru amat menentukan kesuksesan seseorang. Untuk itu, proses pembelajaran yang hanya menekankan aspek kognitif saja seharusnya mulai diubah. Anak tidak saja harus cerdas dalam intelektual saja, namun aspek emosional dan spiritual juga patut utnuk dikembangkan.

Fase kepompong: nilai akademis bukan segalanya. Dalam fase ini mari melakukan perenungan ulang tentang apa-apa yang kita lakukan sebagai guru. Ternyata kepintaran akademis saja tidaklah cukup. Menjadi sukses, tidak hanya ditentukan oleh ijazah yang dimiliki, melainkan diperlukan juga pengetahuan, keterampilan, dan kematangan. “Nilai ijazah dan transkrip nilai sesungguhnya hanya berguna saat masih sekolah dan saat pertama kali melamar kerja (itupun kalau pegawai, kalau pengusaha, nilai itu tak ada artinya”, kata HD. Sebagai guru, yang digugu dan ditiru seharusnya dapat senantiasa membentuk ABC-nya murid, yakni attitude, belief, dan commitment, melalui pembelajaran yang menjunjung tinggi harkat dan martabat murid yang memiliki keunikannya masing-masing.

Fase terakhir, dase kupu-kupu: menjadi guru yang lebih manusiawi. Seorang guru, harus meraih sepenuhnya hak mengajarnya karena murid telah memberikannya secara sukarela kepadanya. Pertama, bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka, maksudnya kita harus diterima oleh murid sebelum pelajara dimulai agar suasana lebih terasa nyaman dan proses pembelajaran dapat berjalan. Kemudian, saat memulai pembelajaran, kita perlu mengaitkan apa yang akan disampaikan dengan peristiwa atau perasaan yang pernah dialami murid (scene setting).

Begitulah, sepenggal teladan inspiratif dari pak HD Irianto, semoga bermanfaat…. :D