Oleh: RD. Yunianta
Belajar
merupakan hak setiap insan berpendidikan. Meskipun pada awalnya pendidikan
menjadi suatu hal yang diwajibkan oleh pemerintah sebagai bagian dari proses
mencerdasan kehidupan bangsa, namun pada intinya pendidikan itu melekat pada
diri setiap manusia yang mau tak mau harus berkembang dan dikembangkan agar
tidak terjadi adanya stagnasi pengetahuan atau bahkan lebih fatalnya kemunduran
peradaban.
Belajar, berarti
upaya sadar pada diri sendiri untuk mengubah pola perilaku dari yang kurang
menjadi hal yang lebih baik. Meski demikian, proses belajar tentu saja tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Perlu upaya dan usaha yang kontinyu dan sungguh-sungguh
agar target pembelajaran yang sesungguhnya dapat tercapai.
Lebih dari itu, belajar akan semakin bermakna jika apa yang dipelajari dapat diserap dan dikembangkan oleh pihak lain. Dengan kata lain, pembelajar akan memberikan dampak positif perubahan kepada lingkungannya, baik lingkungan di mana ia tinggal maupun lingkungan disiplin ilmu yang ia pelajari.
Belajar, bukan
hanya duduk di bangku sekolah, menerima apa saja materi yang diberikan oleh
pengajar, mengerjakan tugasnya. Lalu pulang dengan keletihan hingga lupa apa
yang telah dipelajarinya tadi pagi di sekolah. Belajar bukan hanya sekadar itu.
Belajar adalah proses (yang salah satunya ada di dalam lembaga pendidikan) dan
mengolah segala daya cipta untuk menghasilkan sesuatu yang baru, yang bermakna
dan memiliki nilai guna.
Belajar dapat
dilakukan di mana saja, kapan saja, dan bahkan dalam situasi apapun. Ketika
seseorang sedang menunggu antrian bus misalnya, tiba-tiba ada penjual asongan
lewat. Penjualnya sudah renta, dengan dagangan seadanya. Keuntungan yang tentu
saja tak seberapa. Tetapi, dari sanalah salah satu proses belajar itu bisa bermula.
Bagaimana jika dilihat dari segi moral, bahwa setiap insan tidak boleh hanya
mengadahkan telapak tangan untuk menemukan rejekinya sendiri. Seseorang harus
berupaya dengan giat dan gigih untuk mengais rejekinya. Memanen karunia Ilahi
yang telah terserak di seantero bumi.
Lain halnya
ketika ia melihat dari segi kemanusiaan, penjual asongan itu adalah sarana
untuk menguji kepekaan kita. Apakah kita akan membiarkan ia kehujanan dan
kepanasan tanpa sepeserpun rejeki di tangan,? Atau akan kita ulurkan sedikit
lembar rupiah untuk menyudahinya berpeluh tanpa hasil. Meski kita tahu, mungkin
kita belum membutuhkan apa yang akan kita beli nanti. Tujuan utamanya bukan
untuk mendapatkan benda dari penjual asongan itu, tapi bagaimana kita mengasah
emosional kemanusiaan kita dan memberikan senyuman indah kepadanya. Itu sudah
lebih dari cukup.
Maka, ketika
ditanya dimanakah letak rumah bagi seorang pembelajar sejati? Jawabanya tentu
saja bukan sekolah. Karena pembelajar sejati akan selalu menemukan rumahnya
untuk belajar dimanapun ia berpijak, ia melangkahkan kaki dan bahkan ketika ia
merebahkan diri.
Selamat berproses,
27 Maret 2022