NGOPI
DULU
Aku tak suka kopi. Itu pointnya. Eh, tunggu dulu, sebenarnya aku
suka kopi. Pahit yang nikmat. Tapi, lambungku tak begitu care
padaku. Ia tak rela jika sedikit saja kopi tertuang dalam altarnya, ia akan
bergejolak, menimbulkan rasa yang tak karuan, melilit tiap ujung rambutku dan
aku hampir tak berdaya dibuatnya. Entah kenapa, tapi itulah alasan kenapa aku anti
pada kopi.
Tapi, ini bukan tentang aku dan kopi. Ini tentang bagaimana kopi
bisa memengaruhi jutaan manusia di setiap penjuru dunia. Kopi, bahkan yang
telah mampir di Rahim binatang mungil yang sering disebut luwak, menjadi barang
super mewah dan melegenda.
Kopi, dijadikan simbol waktu yang
free, dalam setiap moment acara penting semisal seminar atau workshop, hingga kita sering mengenal istilah
coffee break, daripada istirahat.
Kopi, juga tumbuh menjadi komoditas yang mampu menghidupi berbagai
jutaan petani yang menggantungkan hidup pada kemakmuran dan kesuburan tiap
panennya.
Kopi, juga menjadi alasan utama para pegiat bisnis, untuk menyajikan
teknik penjualan dalam bentuk berbeda, dengan berbagai citarasa yang mengikat
penggemar atau calon penggemarnya.
Kopi, layaknya teh oleh sebagaian masyarakat yang lain, menjadi
hidangan utama dalam setiap upacara sakral lek-lekan yang meminta tiap insan
terjaga hingga larut malam.
Atau, yang masih hangat di hadapan kita, kopi jualah yang
menyebabkan Mirna pergi selamanya dan Jessika didakwa menjadi eksekutor
tunggalnya.